Ramadhani (Cerpen Rudi Fahrizal Putra)

Ilustrasi: Serambi Indonesia
Aku melihat wanita itu empat hari yang lalu. Di sebuah halte. Saat rintikan hujan turun dengan rinainya. Sebagai laki-laki normal, parasnya yang cantik adalah hal pertama yang membuatku kagum. Tapi lebih dari itu, entah mengapa, tipe wanita pemalu selalu mempunyai daya tarik tersendiri bagiku. Aku tahu dia pemalu. Terlihat jelas dari caranya menyikapi kedatanganku. Dia hanya melirikku dengan sekilas, dan kemudian merunduk kembali. Dan hampir selama satu jam kami terjebak hujan di sini, belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami. Baik aku ataupun dia, sama. Sama-sama pemalu.

Singkat cerita, aku jatuh cinta pada pandangan pertama kepada wanita yang bahkan tidak kuketahui namanya itu. Mungkin agak sedikit aneh bila membayangkan bagaimana rasa itu bisa tumbuh seketika. Namun kurasa kau pun akan mengalami rasa yang sama denganku bila melihatnya sendiri. Wanita yang tidak hanya cantik, tapi juga anggun dengan balutan jilbab dan gamisnya. Namun bukan itu. Bukan itu yang menjadi penyebab rasa itu merekah secara tiba-tiba. Rasa itu muncul di dalam dadaku karena melihat seorang
wanita sedang membaca mushaf di sebuah halte. Sembari menunngu hujan reda.

***

Hampir dalam seminggu ini langit kota Banda aceh diselimuti awan hitam.Bulan Juni yang seharusnya menjadi musim kemarau, malah lebih terlihat seperti musim hujan. Hari ini hujan lebat belum turun. Tapi gerimis masih saja terus berjatuhan. Aku melangkahkan kakiku dengan cepat, menuju masjid megah di depan sana. Aku ingin melepas penat selama berada di kampus dengan membaca dan mentadabburi ayat-ayat suci Alquran.

Masjid Raya Banda Aceh tidak seramai biasanya. Cuaca yang tidak bersahabat belakangan ini, membuat sebagian orang enggan beraktifitas di luar rumah. Aku memilih duduk di pojok depan masjid. Menghadap dindingnya yang dihiasi ukiran-ukiran kaligrafi. Kubuka lembaran pertama pada surat An-Nisa. Saat aku membaca bismillah, hujan deras mulai turun di luar sana. Setelah cukup lama duduk, aku merasakan kakiku kesemutan. Aku pun memutuskan untuk keluar sebentar, menuju teras masjid. Hujan masih turun dengan riangnya memainkan iramanya. Kesejukan yang diciptakannya menjalar hingga ke dinding. Aku melipat kedua tanganku karena kedinginan. Ah, di saat hujan seperti ini, rasa rindu itu datang dengan begitu mudahnya. Ramadhan hanya tinggal menunggu hari, tapi sebagai mahasiswa dari luar kota terpaksa aku menjalani bulan penuh berkah itu sendirian.

Tidak jauh dariku, kulihat seorang wanita duduk bersandar pada tiang dekat tangga. Wanita itu.. wanita yang waktu itu terjebak hujan di halte bersamaku! Sebuah kebetulan yang 'ajaib' bisa bertemu dengannya lagi di sini. Aku tidak boleh melewati kesempatan ini. Rasa menggebu ingin
berkenalan dengannya membuatku memberanikan diri untuk mendekat.

“Assalamualaikum,” sapaku agak keras, agar bisa mengalahkan suara hujan yang bergemuruh.

“Waalaikumsalam.. ada apa, ya?” ia keheranan melihat kedatanganku yang mungkin tidak diingatnya lagi.

“Ah, tidak.. aku cuma ingin berkenalan,” kataku malu-malu. “Bukankah kita sudah pernah bertemu sebelumnya?”

“Oh, ya? kapan?”

“Empat hari yang lalu. Di halte. Kita sama-sama terjebak hujan.”

“Oh, jadi kamu laki-laki itu? Maaf aku tidak ingat.”

“Tidak apa.. Namamu siapa?”

“Ramadhani, kamu?”

“Nama yang cantik. Aku Alvin. Kamu kuliah?”

“Iya di Unsyiah. Semester empat Fakultas Sastra.”

“Wah kita satu kampus. Aku di FISIP, semester enam jurusan Antropologi."

“Ooh…”

Kami terdiam sesaat.

“Oh, hujan sudah reda, aku harus pergi sekarang, ada pekerjaan yang harus
kuselesaikan.”

Dengan hati-hati ia menuruni anak tangga, lalu ia melangkah cepat melewati halaman masjid yang basah diguyur hujan.

“Bahkan aku tidak sempat menanyakan tempat tinggalnya,” keluhku dalam hati.

***

Kuputuskan untuk kembali menuju kosku di Darussalam. Awalnya, aku berniat untuk shalat Magrib di sini. Tapi kuurungkan niatku itu, karena sepertinya hujan akan turun lagi. Di langit, awan hitam kembali bergerumul. Bersatu untuk membentuk hujan. Aku menaiki labi-labi untuk menuju Darussalam. Setibanya di Darussalam, aku harus berjalan kaki sejauh satu kilometer untuk menuju kosku. Melewati lorong dan gang-gang sempit.

Satu hal yang paling kubenci adalah ketika harus melewati Gang Melati. Bukan apa-apa. Aku hanya cenderung paranoid untuk sesuatu yang berbau mistis. Dan tempat yang mau tidak mau harus kulewati ini (karena satu-satunya jalan menuju kosku) adalah tempat paling mengerikan di wilayah
ini. Bayangkan saja, di sepanjang jalan sepi ini hanya ada tiga rumah penduduk. Itu pun tidak ada yang tahu siapa penghuninya. Mereka adalah orang-orang misterius yang tidak pernah terlihat keluar rumah. Selebihnya, tanah-tanahnya dijadikan areal tempat pemakaman. Seperti pemakaman-pemakaman lainnya, pemakaman di Gang Melati pun tidak sepi dari cerita-cerita berbau mistis. Bulu kudukku seketika merinding begitu teringat dengan cerita Nawi, teman kosku, yang mengaku pernah mendengar tangisan panjang kuntilanak di sini. Cepat-cepat kutepis ingatan itu. Sisa hujan sore tadi menciptakan keheningan di jalan-jalan. Menambah nuansa angker areal pemakaman mengerikan ini. Aku melangkahkan kakiku dengan tergesa-gesa.

***

Hampir saja aku berlari, saat melihat sekumpulan bayangan di ujung gang sana. Kupikir itu segerombolan setan yang sedang berpesta. Tapi seketika kutahan langkah kakiku, begitu mendengar ada suara jeritan minta tolong. Empat orang pemuda sedang mengerumuni seorang bapak yang bersepeda motor matic. Itu bukan setan, tapi perampokan!

“Tolong.. Tolong.. ada perampokan.. !” Dengan spontan aku berteriak.

Tapi sa-sia. Tidak ada orang yang melewati gang ini. Lalu dengan sigap kuambil sebatang besi yang terlepas dari pagar pemakaman. Cukup ampuh untuk dijadikan senjata. Meskipun tidak yakin sanggup menghadapi mereka, aku tetap nekat menolong bapak itu.

“Hei, lepaskan!” bentakku setibanya di dekat mereka. Seketika itu para penjahat itu menoleh ke arahku.

“Heh, anak kecil, kau kira kami takut dengan pedang mainan yang kau bawa itu?” Ejek salah seorang dari mereka. Teman-temannya yang lain tertawa.

Tak lama kemudian salah seorang dari mereka yang berbadan paling tegap memberi tanda. Tampaknya dia adalah pemimpin genk kecil ini. Seorang pemuda yang berbadan paling kecil maju menyerangku. Aku memasang posisi siaga. Dengan mudah aku mengelak dari pukulannya. Rupanya mereka tidak tahu, begini-begini aku ini anggota klub karate di kampusku. Dan dengan kekuatan
penuh, kuhadiahkan tinjuku untuk pemuda kecil tadi, tepat mengenai hidungnya. Seketika ia jatuh menggelepar.

“Sepertinya ia jago karate, Bos.” Teriak salah seorang dari mereka gusar.

“Anak ingusan bedebah. Hajar dia!!” perintah pemimpin penjahat itu berang.

Kemudian secara bersama-sama mereka menyerbuku. Mau tidak mau aku harus menghadapi tiga orang sekaligus. Pertarungan mati-matian pun terjadi. Mudah menjatuhkan dua orang di antara mereka. Sebuah tendangan dan hantaman batang trembesi membuat mereka tersungkur tak berdaya. Tapi, sepertinya pemimpin mereka ini agak sulit ditaklukkan. Sepertinya dia juga memiliki ilmu bela diri yang sama sepertiku. Sudah dua pukulan darinya yang mengenai perutku. Tapi aku belum menyerah. Ini belum apa-apa.

“Hiaaaat!” Serangku mempraktikkan salah satu jurus karate yang
kupelajari.

Tapi penjahat itu masih sempat mengelak. Kecepatan jurusku masih bisa dihindarinya. Dan tiba-tiba saja, tanpa bisa kuhindari, sebuah bogem mentah mendarat di pelipisku. Aku terjatuh tersungkur. Belum sempat aku bangkit, penjahat itu telah menerjang keras dadaku dengan tapak sepatunya. Aku mengerang kesakitan.

“Tidak bisa, aku kalah fisik,” keluhku dalam hati.

Lalu, dalam sekejap penjahat tadi mengambil batang trembesi yang terlepas dari tanganku. Ia hendak membunuhku!

Aku yang tersungkur dan tidak siap untuk mengelak ini hanya bisa berpasrah. Kupejamkan kedua mataku. Oh Tuhan, inikah akhir hidupku?

“Buakkk!” Suara hantaman keras itu terdengar di dekat telingaku.

Aku membuka mata. Ternyata sang bapak yang hendak dirampok tadi menghantam kepala penjahat tadi dengan batu. Penjahat itu jatuh pingsan ke tanah. Alhamdulillah... aku selamat.

“Adik tidak apa-apa?” Tanya Bapak itu khawatir.

“sedikit sakit di bagian dada. Tapi sudah tidak apa-apa.” Jawabku seraya mencoba bangkit.

“Syukurlah kalu adik tidak apa-apa. Saya Haji Arifin. Terimakasih telah menolong saya.” Bapak itu menjulurkan tangannya.

“Iya, Pak. Bukankah sudah menjadi kewajiban kita sebagai manusia untuk saling menolong. Saya Alvin, tinggal di dekat sini,” tandasku.

“Kalau begitu, mari kita menuju rumah Geuchik kampung ini untuk melaporkan kejadian ini. Kita harus membuat pengaduan ke kantor polisi.”

Kemudian, dengan menggunakan sepeda motor kami pun berangkat menuju rumah Geuchik. Haji Arifin mengendarai motornya, sedangkan aku duduk di sadel motor, sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhku.

***

Keesokan harinya, berita tentang usaha perampokan di Gang Melati tersiar di berbagai media lokal. Namaku terpampang jelas di sana. Teman-teman kampusku datang menjengukku, yang saat ini terbaring di rumah sakit, karena harus mengobati luka memarku. Lagi-lagi terdengar suara ketukan pintu. Pasti temanku lagi, pikirku.

“Assalamualaikum,” sapa seorang dari balik pintu. Rasanya aku mengenal suara itu. Suara serak yang begitu khas.

“Masuk saja, tidak terkunci.”

Pintu dibuka. Seorang bapak berpenampilan santun muncul dari balik pintu.

“Haji Arifin? Bagaimana Bapak bisa tahu saya di sini?” Tanyaku kaget.

“Siapa yang tidak tahu, namamu heboh di seantero kota ini. Mereka
menyebutmu Superhero Banda Aceh,” canda Haji Arifin.

“Ah, Bapak ini bisa saja. Tapi terimakasih sudah mau menjenguk,” ujarku.

“Saya yang harusnya berterimakasih, karena yang menolong saya itu kamu,” balas Haji Arifin.

Obrolan pun mengalir di antara kami. Aku bercerita banyak hal pada Haji arifin. Saat sedang asyik mengobrol, tiba-tiba saja raut wajah Haji Arifin berubah. Tiba-tiba ia terlihat lebih serius. Entah apa penyebabnya.

“Dik, sebenarnya kedatangan saya ke mari bukan hanya untuk menjengukmu saja. Ada hal penting lain yang harus saya sampaikan.” Kata Haji Arifin kemudian.

“Apa itu Pak?” Tanyaku penasaran. Haji Arifin pun mulai bercerita,

“Sebenarnya, waktu saya diserang perampok waktu itu, dari kejauhan saya melihat ada seorang pemuda yang datang. Saya merasa sedikit lega karena saya pikir akan ada yang membantu saya. Tapi kemudian, saya melihat pemuda tadi hendak berbalik arah. Saya merasa sangat kecewa.”

Aku jadi teringat kembali betapa paranoid-nya aku waktu itu.

“Karena itulah, seketika itu juga saya membuat nazar kepada Tuhan,” terang Haji Arifin kemudian.

“Na, nazar? Nazar apa?” Aku semakin penasaran.

“Waktu itu saya bernazar, apabila pemuda itu berbalik menolong saya, jika ia sudah menikah maka akan saya angkat menjadi anak saya. Tapi jika ia masih lajang, maka akan saya nikahkan dengan putri sulung saya. Ajaibnya, pemuda tadi berbalik arah. Dan ternyata pemuda itu kamu. Oleh karena itu,
karena Dik Alvin ini masih lajang, maka mau tidak mau harus menikah dengan putri sulung saya,”

“Degg”.

Tiba-tiba aku merasa detak jantungku seakan berhenti. Nazar macam apa ini? Bagaimana mungkin aku mesti menikah dengan wanita yang tidak kukenal secara mendadak begini? Ah, sudah jadi kebiasaan orang Aceh sejak dulu suka membuat nazar yang aneh-aneh.

“Tapi Pak, saya masih ingin menyelesaikan pendidikan saya. Kampus tempat saya berkuliah tidak mengizinkan mahasiswanya untuk menikah,” kilahku.

“Itu tidak jadi masalah. Putri saya juga sedang berkuliah. Nazar itu tidak mesti ditunaikan sekarang, yang penting kalian bertunangan saja dulu,” pungkas Haji Arifin enteng.

Aku terdiam. Tidak tahu harus senang atau tidak. Menikah memang menjadi dambaan bagi setiap pemuda lajang. Akan tetapi, bagaimana bila wanita yang mesti kunikahi itu bukan tipeku? Ah, aku bingung. Tapi menolaknya pun hampir tidak memungkinkan. Soalnya ini menyangkut dengan nazar. Sesuatu yang disakralkan dalam agama.

“Sebenarnya, saya turut membawa putri saya ke sini. Tapi ia tidak mau masuk, malu katanya.” Kata Haji Arifin lagi.

“Apa?” Sontak aku merasa kaget.

“Kalau begitu akan saya paksa dia masuk.” Tegas haji Arifin.

Ia pun beranjak keluar. Seketika jantungku berdegup kencang. Tidak kusangka aksi niat baikku tempo lalu akan berakhir dengan drama penjodohan seperti ini. Cukup lama aku menunggu. Sepertinya Haji arifin benar-benar harus “menyeret” putrinya masuk. Aku sudah merasa bosan. Tapi tiba-tiba suara
pintu dibuka kembali terdengar. Jantungku berdesir. Haji Arifin muncul seraya menarik lengan putrinya masuk. Aku memasang mata untuk memerhatikan wajahnya. Seorang wanita merunduk karena merasa malu. Dan tiba-tiba mataku terbelalak.

“Ramadhani?”


*Cerpen perdana saya, dimuat di Serambi Indonesia edisi Minggu, 31 Mei 2016

0 comments:

Post a Comment