news.detik.com |
"Pertama, sebagai puisi, itu puisi yang jelek, ya. Puisi yang verbal. Tapi sejelek-jeleknya sebuah puisi, tak boleh puisi tersebut dikerangkeng hanya dengan tafsir tunggal." Begitulah komentar Ahda seperti dikutip dari detiknews.com (3/4/2018)
Ahda Imran via idwriters.com |
Komentar yang lain juga datang dari Ahmadun Yosi Herfanda. Menurutnya, puisi Bu Sukmawati termasuk ke dalam jenis puisi kritik, tapi sayangnya dibuat secara sembrono.
"Perbandingan antara tradisi budaya (kidung) dan agama (adzan) yang dilakukan Bu Sukma ini tentu bukan kewajaran, melainkan kesembronoan." Kata peraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (Forum Informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura) itu, seperti dilansir ngopibareng.id (3/4/2018)
Ahmadun via www.republika.co.id |
Bahkan, politisi yang juga sempat mem-viralkan sebuah puisi, Fadli Zon, sepertinya lebih mengerti dunia perpuisian ketimbang Bu Sukmawati yang notabene merupakan seorang penulis sekaligus budayawati. Padahal, seperti kita ketahui, Pak Fadli sendiri lebih sering menghabiskan waktunya merumuskan undang-undang bersama anggota DPR RI daripada hanya sekadar menulis puisi.
Dilansir dari Okezone News (3/4/2018), Fadli Zon mengungkapkan, "Saya pikir memang meskipun itu adalah sebuah ekspresi, tapi memang kalau secara spesifik menyebutkan azan, ini kan hal-hal sensitif. Apalagi bukan dalam sebuah metafor tapi satu bentuk komparasi." Ujarnya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat.
Fadli Zon via m.riaupos.co |
Karena itulah, saya sebagai seorang yang mencintai dunia puisi, berharap Bu Sukmawati lebih banyak belajar lagi. Dan saya pun mendukung beliau untuk terus berkarya melalui puisi. Tentu saja bukan lagi puisi yang menyinggung perasaan banyak orang. Yah, walaupun pada dasarnya seni itu bebas, tapi tentu tak elok jika sengaja mengangkat isu-isu sensitif ke dalam sebuah seni, apalagi disampaikan secara eksplisit, bukan metafor seperti kata Fadli Zon. Dan yang paling utama, menyakiti perasaan orang bukanlah sebuah tindakan yang dibenarkan, walaupun itu mengatasnamakan seni. Sebagai manusia yang beradab dan berbudaya, sudah sepatutnya kita saling menghargai dan menjunjung tinggi persatuan.
Pada akhirnya, jika memang Bu Sukmawati mencintai dan mau menekuni puisi, saya hanya bisa berharap, karya-karya yang tak kalah berkelas dari milik Sylvia Plath bisa lahir melalui tangan beliau. Karena itu, saya menunggu puisimu yang berikutnya, Bu Sukmawati!
Sumber Referensi: news.detik.com, news.okezone.com, ngopibareng.id
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan oleh Platform Berita UC News pada 5/4/2018. Unduh aplikasi UC News di playstore dan follow akun 'Rudi Fahrizal Putra' untuk membaca lebih banyak artikel menarik lainnya.
0 comments:
Post a Comment