A Pale Blue Dot dan Renungan Carl Sagan tentang Posisi Kita di Alam Semesta

nationalgeographic.com


Sejak kecil saya sangat menyukai dunia astronomi. Saya pernah bercita-cita menjadi astronot dan sampai sekarang pun, saya begitu bersemangat membaca artikel-artikel tentang astronomi, serta temuan terbaru dari NASA yang mereka publikasikan di situs resmi mereka.

Sebagai penggemar astronomi, tentu saja saya juga mengidolakan beberapa astronom. Tidak hanya para astronom, saya juga mengagumi semua ilmuan yang telah berhasil menguak misteri alam semesta. Menurut saya, para ilmuan itu adalah mereka yang  jujur dalam menyikapi kehidupan ini. Mereka adalah orang-orang yang sederhana, bijaksana, dan tidak menuntut terlalu banyak, sebab mereka tahu, mereka (dan juga kita) hanyalah bagian kecil dari sebutir debu yang melayang di ruang hampa.

Salah satu astronom yang saya idolakan sejak lama adalah Carl Sagan. Seorang ilmuan sekaligus astronom yang dianggap selebritis, karena kepopulerannya di abad 20. Pria bernama lengkap Carl Edward Sagan ini lahir di Brooklyn, New York, Amerika Serikat, 9 November 1934, dan meninggal di Seattle, Washington, AS, 20 Desember 1996. Selama hidupnya, Sagan telah mendedikasikan sebagian besar waktu yang ia punya untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Ia dikenal gigih dalam mempopulerkan sains agar lebih dikenal oleh masyarakat awam. Selain itu, Sagan juga merupakan seorang tokoh penggagas sebuah proyek pencarian makhluk cerdas dari luar angkasa (Search for ExtraTerestial Intelligence/SETI). Proyek ini masih berjalan hingga saat ini.

Ada begitu banyak buku yang ditulis Sagan, dan sebagian besarnya sukses menjadi best seller. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah sebuah buku yang berjudul A Pale Blue Dot yang terbit pada tahun 1994. Buku best seller ini merupakan perpaduan antara hasil perenungan Sagan mengenai tempat manusia di alam semesta, serta penjelasan mendalam tentang sistem tata surya kita. Buku ini sendiri lahir berkat permintaan Sagan kepada NASA, agar wahana antariksa mereka, Voyager 1 memotret bumi dari jarak sejauh 6 miliar kilometer (3,7 miliar mil, 40 AU). Dari jarak ini, bumi tampak seperti titik biru pucat, dengan ukuran setengah piksel (0,12 piksel), di tengah luasnya jagat raya. Di dalam foto ini, bumi bahkan tidak terlihat apabila dipandang sekilas, akibat tertutupi pita cahaya matahari yang terbias oleh optika kamera. Foto ini diambil pada tanggal 14 Februari 1990.

Namun yang paling menarik dari Pale Blue Dot tidak lain adalah renungan Sagan yang dibagikannya selama memberikan kuliah umum di Universitas Cornell pada tahun 1994. Saat itu, Sagan menyampaikan sebuah makna yang lebih mendalam mengenai gagasannya tentang Pale Blue Dot:

Wikipedia


Dari jarak sejauh ini, Bumi tidak lagi terlihat penting. Namun bagi kita, lain lagi ceritanya. Tataplah lagi titik itu. Titik itulah yang dinamai 'di sini.' Itulah rumah. Itulah kita. Di satu titik itu semua orang yang kamu cintai, semua orang yang kamu kenal, semua orang yang pernah kamu dengar namanya, semua manusia yang pernah ada, menghabiskan hidup mereka. Segenap kebahagiaan dan penderitaan kita, ribuan agama, pemikiran, dan doktrin ekonomi yang merasa benar, setiap pemburu dan perambah, setiap pahlawan dan pengecut, setiap pembangun dan pemusnah peradaban, setiap raja dan petani, setiap pasangan muda yang jatuh cinta, setiap ibu dan ayah, anak yang bercita-cita tinggi, penemu dan penjelajah, setiap pengajar kebaikan, setiap politisi busuk, setiap "bintang pujaan", setiap "pemimpin besar", setiap orang suci dan pendosa sepanjang sejarah spesies manusia hidup di sana, di atas setitik debu yang melayang dalam seberkas sinar.
Bumi adalah panggung yang amat kecil di tengah luasnya arena kosmik. Renungkanlah sungai darah yang ditumpahkan para jenderal dan maharaja sehingga dalam keagungan dan kejayaan itu mereka dapat menjadi penguasa sementara di sebagian kecil dari titik itu. Renungkanlah kekejaman tanpa akhir yang dilakukan orang-orang di satu sudut titik ini terhadap orang-orang tak dikenal di sudut titik yang lain, betapa sering mereka salah paham, betapa siap mereka untuk membunuh satu sama lain, betapa bergejolak kebencian mereka. Sikap kita, keistimewaan kita yang semu, khayalan bahwa kita memiliki tempat penting di alam semesta ini, tidak berarti apapun di hadapan setitik cahaya redup ini. Planet kita hanyalah sebutir debu yang kesepian di alam yang besar dan gelap. Dalam kebingungan kita, di tengah luasnya jagat raya ini, tiada tanda bahwa pertolongan akan datang dari tempat lain untuk menyelamatkan kita dari diri kita sendiri.
Bumi adalah satu-satunya dunia, sejauh ini, yang diketahui memiliki kehidupan. Tidak ada tempat lain, setidaknya sampai beberapa waktu ke depan, yang bisa dijadikan tempat tinggal. Ada yang bisa kita kunjungi, tetapi belum ada yang bisa kita tinggali. Suka atau tidak, untuk saat ini, Bumi adalah satu-satunya tempat kita hidup. Sering dikatakan bahwa astronomi adalah sebuah pengalaman yang menumbuhkan kerendahan hati dan membangun kepribadian. Mungkin tak ada yang dapat menunjukkan laknatnya kesombongan manusia secara lebih baik selain citra dunia kita yang mungil ini. Bagiku, gambar ini mempertegas tanggung jawab kita untuk bertindak lebih baik terhadap satu sama lain, dan menjaga serta merawat sang titik biru pucat, satu-satunya rumah yang kita kenal selama ini (Dikutip dari Wikipedia).

8 comments:

  1. Tiga paragraf terakhir itu mengutip dari Wikipedia semua?

    Saya kurang tertarik dengan astronomi dan tentu baru tahu sama tokoh itu. Kalau untuk jangan sombong dan merasa kecil, saya pasti teringat dengan video yang mulanya menyorot mata manusia, lalu Bumi, planet lain, Matahari, dst. sampai Bumi tuh enggak kelihatan sama sekali. Betapa luasnya alam semesta ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bener, 3 paragraf itu berhasil bikin saya jatuh hati. Makanya Dibikinin tulisan ini.

      Hahaha, iya video2 kayak gitu biasanya banyak ditampilin di acara atau seminar-seminar motivasi

      Delete
  2. Bahasannya berat banget ini. Gila, lu masih muda kok suka ya sama hal-hal begini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwk, kalo udah terbiasa baca ginian jadinya gak rumit lagi

      Delete
  3. Saya juga dari dulu mengagumi ilmu astronomi ini. Sebegitu besar dan luasnya alam semesta yang harus diciptakan oleh Allah, untuk bisa memberikan kehidupan di satu tempat saja yaitu Bumi "A Pale Blue Dot".

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bener, makanya sebagai manusia kita harus banyak bersyukur dan tidak sombong

      Delete
  4. iya bener, kami kudu menyayangi bumi. gak ada pilihan lain soalnya buat tempat tinggal kedepan ya hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selama gk ada planet lain yang layak huni ditemukan, ya gak ada pilihan lain. Mudah-mudahan bumi aman dan damai aja deh, dan mudah-mudahan bumi yang kayak di film Interstellar itu gak pernah terjadi, wkwk.

      Delete