www.kumparan.com |
Tulisan-tulisan berikut sudah lebih muncul di Instagram dalam bentuk postingan. Terdapat empat tulisan yang dibagi ke dalam dua bagian, dengan berbagai topik dan isu, mulai dari literasi, pendidikan, persoalan sampah, hingga sosial. Ada beberapa tulisan yang bersifat tematik, tetapi amanat dan pesan moral di dalamnya akan tetap relevan sampai kapan pun. Selamat membaca. Salam literasi!
Mari Kita Awali dengan Membaca (Literasi)
Pixabay |
Dilansir dari detiknews (5/1/2019), berdasarkan hasil rilis sejumlah penggagas dunia literasi, Indonesia masih menempati urutan rendah dalam hal ini.
Survey yang diumumkan oleh Central Connecticut State University (CCSU) pada tahun 2016 misalnya. Disebutkan, Indonesia berada pada rangking 62 dari 70 negara yang disurvey.
Sayang sekali bukan? Sebagai negara yang besar, Indonesia masih kalah dalam hal literasi.
Pikiran yang tajam tentu saja berasal dari pengetahuan yang luas. Tidak mungkin pola pikir sebuah masyarakat akan maju jika masih menutup diri dari berbagai pengetahuan yang semakin meluas seiring dengan berkembangnya zaman. Dan cara termudah dan efektif dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang luas adalah dengan membaca.
Akan tetapi gemar membaca pun masih belum cukup. Haruki Murakami mengatakan, jika kau membaca buku yang biasa dibaca kebanyakan orang, maka caramu berpikir pun akan seperti kebanyakan orang. Dalam hal ini, pilihan membaca pun sangat penting. Pikiranmu akan begitu-begitu saja, jika buku yang kau baca pun begitu-begitu saja. Bacalah buku dari orang-orang hebat. Mereka-mereka yang mampu mengubah dunia menggunakan kekuatan pikiran mereka. Maka kelak kau pun akan dapat berpikir dengan cara seperti mereka.
Knowledge, We Should Love You (Sosial, Edukasi, Sains)
Di dunia ini, kecerdasan tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. Orang cerdas bisa saja berakhir menyedihkan, jika kecerdasannya digunakan secara tidak tepat. Menipu orang, mencari cara berbuat curang, atau korupsi misalnya. Tapi cinta terhadap ilmu pengetahuan, adalah cikal-bakal dari lahirnya kecerdasan itu sendiri. Dan rasa cinta itu datang dari rasa ingin tahu yang besar.
Pernah membayangkan, betapa di negeri ini ilmu pengetahuan dianggap menjemukan, bahkan jika tidak berlebihan, dianggap tabu. Sehingga kalau kau melihat beberapa anak muda berkumpul, bisa dipastikan, tidak ada pembicaraan tentang ilmu pengetahuan di sana. Bagi siapa pun yang mencintai ilmu pengetahuan dilarang untuk membiarakan perihal itu. Jangan berdiskusi soal itu, kalau tidak mau dianggap sok pintar ataupun kurang asik.
Pembicaraan mengenai ilmu pengetahuan memang bukan sama sekali tidak ada. Komunitas pecinta sains, mustahil tidak eksis di negara sebesar ini. Tapi untuk masyarakat dengan jumlah populasi ke-4 terbesar di dunia, jumlah mereka masih terlalu kecil. Padahal, ilmu pengetahuan adalah tonggak sebuah negara. Jika sebuah negara diibaratkan sebuah bangunan, maka sains adalah lantai beserta tiangnya, sementara seni adalah ornamen yang memperindah bangunan tersebut.
Dari kecintaan terhadap pengetahuan, orang-orang hebat yang mampu mengubah dunia lahir. Bayangkan, jika dalam setiap pembicaraan, orang-orang lebih suka mendiskusikan tentang sains, sosial, maupun seni ketimbang membicarakan kehidupan orang lain atau hal-hal tidak bermanfaat lainnya, bisa dipastikan dari seribu orang yang berdiskusi itu, akan muncul satu tokoh yang inovatif. Yang muncul dengan gagasan baru tentang kehidupan yang lebih baik. Bukankah sering dikatakan, "Orang berjiwa besar bicarakan gagasan, orang berjiwa kecil bicarakan/gosipkan orang."
Knowledge, We Should Love You (Sosial, Edukasi, Sains)
Pixabay |
Pernah membayangkan, betapa di negeri ini ilmu pengetahuan dianggap menjemukan, bahkan jika tidak berlebihan, dianggap tabu. Sehingga kalau kau melihat beberapa anak muda berkumpul, bisa dipastikan, tidak ada pembicaraan tentang ilmu pengetahuan di sana. Bagi siapa pun yang mencintai ilmu pengetahuan dilarang untuk membiarakan perihal itu. Jangan berdiskusi soal itu, kalau tidak mau dianggap sok pintar ataupun kurang asik.
Pembicaraan mengenai ilmu pengetahuan memang bukan sama sekali tidak ada. Komunitas pecinta sains, mustahil tidak eksis di negara sebesar ini. Tapi untuk masyarakat dengan jumlah populasi ke-4 terbesar di dunia, jumlah mereka masih terlalu kecil. Padahal, ilmu pengetahuan adalah tonggak sebuah negara. Jika sebuah negara diibaratkan sebuah bangunan, maka sains adalah lantai beserta tiangnya, sementara seni adalah ornamen yang memperindah bangunan tersebut.
Dari kecintaan terhadap pengetahuan, orang-orang hebat yang mampu mengubah dunia lahir. Bayangkan, jika dalam setiap pembicaraan, orang-orang lebih suka mendiskusikan tentang sains, sosial, maupun seni ketimbang membicarakan kehidupan orang lain atau hal-hal tidak bermanfaat lainnya, bisa dipastikan dari seribu orang yang berdiskusi itu, akan muncul satu tokoh yang inovatif. Yang muncul dengan gagasan baru tentang kehidupan yang lebih baik. Bukankah sering dikatakan, "Orang berjiwa besar bicarakan gagasan, orang berjiwa kecil bicarakan/gosipkan orang."
Bayangkan jika setiap orang lebih senang mencari dan melahap ilmu pengetahuan ketimbang sekadar berbelanja barang-barang mewah yang sebenarnya hanya semu belaka. Ada berapa banyak sumber daya alam yang terselamatkan?
Ya, setiap orang memang butuh hiburan. Dan karena itu seni hadir di dunia ini. Tapi seni yang baik adalah seni yang mampu membawamu menuju kebenaran sejati. Bukan seni yang menawarkan kehidupan hedonis yang semu. (berlanjut ke bagian 2)
ku tunggu bagian ke 2nyaa nih, baca tulisan ini sambil ngangguk2 setuju
ReplyDeleteterimakasih sudah berkunjung, bagian kedua akan segera menyusul :)
DeleteKunjungan perdana ke blog unik dan menarik ini. Jujur, literasi di Indonesia masih rendah, bahkan untuk literasi digital seperti ngeblog misalnya. Tapi, urusan medsos, netizen Indonesia mungkin salah satu yang paling cerewet di dunia hehe.. Makanya, jangan heran captionnya banyak yang nyeleneh, tapi ada juga yang bermanfaat dan mempengaruhi orang banyak
ReplyDeleteBener banget, orang Indonesia memang banyak yang kreatif. Ítu bikin industri hiburan kita maju, tapi sayangnya perhatian masyarakat kita di bidang literasi dan sains masih minim. Terimakasih kunjungannya :)
Deletemenarik sih.. kenapa gak di lanjutin aja mas :D
ReplyDeleteNanti kepanjangan mas :D
Deletegpp mas, panjang pendek gak ada yang ngelatang kok hehe :D
DeleteWkwk kasian yg baca kalo kepanjangan :D
Deletedi blog lebih leluasa ya kak nulisnya gak terbatas.. hehe..
ReplyDeleteditunggu kelanjutannya ya, yg bagian ke-2..
Sip kaka
DeleteKalau di blog mah ga ada yang bisa protes hahaha, :D
DeleteSetuju, produk gagal yang juga saya rasakan. Kita jadi serba tanggung. Semuanya hanya tau kulitnya saja. Bahkan dilevel yang bernama perguruan tinggi dimana kita sudah memilih jurusan pun, masih saja menganut sistem tersebut. Semuanya diajarkan dan hanya kulitnya saja.
ReplyDeleteIyaa, kita doakan saja semoga ke depannya pendidikan di Indonesia menajadi lebih baik
DeleteBarangkali memang susah untuk mengkomunikasikan gagasan lewat tulisan di Instagram. Jika dituliskan dalam blog, selain bisa lebih mendalam, gagasan-gagasan itu mungkin akan memancing diskusi yang lebih hangat lewat komentar.
ReplyDeleteBtw, sepertinya saya merasakan hal yang sama soal pendidikan. Setidaknya sampai saya sekolah dulu, kecerdasan biasanya hanya diukur dengan kemampuan berhitung dan menyelesaikan persamaan matematis. Ilmu-ilmu humaniora seperti sosiologi dan sejarah hanya dianggap pelengkap. Lebih baik masuk IPA ketimbang IPS. Padahal ilmu-ilmu eksakta dan sosial semestinya saling melengkapi.
Iyaa ya, barangkali karena itulah saya cuma mampu menulis 5 postingan 😅
ReplyDeleteBener banget katamu, di sekolah biasanya ada stereotip kalo anak IPA lebih pinter dari anaK IPS. Padahal ilmu humaniora lebih applicable di dunia industri. Selain itu, soal matematika saya juga kecewa sama sistem yang kayak lebih menekankan rumus ketimbang pemahaman konsepnya. Sepertinya, itu yang jadi biang keladi pelajaran matematika dan ilmu pasti lainnya menjadi pelajaran paling dibenci
Saya juga pernah bikin akun istagram dan cobain beli Folowwer, Endingnya adalah Ig terbengkalai dan follower jadi berkurang, lenyap entah kemana. :)
ReplyDeleteSayang sekali, padahal dari tampilan DP sepertinya Anda cocok jadi selebgram, wkwk
DeleteBukan kecerdasan bukan pintar...kita harus hidup diantara 7 milyar manusia.
ReplyDeleteYang paling penting adalah daya imajinasi. Kata Einstein jangan takut dan jangan berhenti mengeksplorasi diri.
Yups, semua orang punya potensi masing-masing
DeleteWah Kakak... Keren sekali. Pindah ke blog dong.
ReplyDeleteMenurutku, sistem pendidikan kita masih kayak robot. Sistem kita berat & anak2 jadinya seperti robot yang diatur. Iya kan? Sehingga mereka nggak berani melakukan perubahan. Tapi, saat ini semakin banyak yang berani kok generasi milenialnya. Semangat!
Iyaa dengan berkembangnya internet, positifnya adalah semua orang dengan mudah punya akses belajar kapan saja, di mana aja.
Deleteada lho channel edukatif di youtube, yang lebih ngena plus fun ketimbang di sekolah
Wahhh saya sangat merasakan sekali sih mas, kadang bertanya hal sepele saja dikira bodoh, dan banyak bertanya disangka lain, dan banyak menjawab dibilang sok pintar. Apalagi kalau buat kata kata di sosial media dianggap hal lain juga. Terkadang apa yang kita lakukan selalu salah dan tidak baik. Kalo soal buat akun itu rencana pengen juga sih, biar lepas aja gitu gak ada yang ganggu dan bebas berpendapat juga heheh
ReplyDeleteNice post
ReplyDeleteThank you gan
DeleteWkwk, iya bro, karena itu menjadi ignorant dalam kondisi2 tertentu juga diperlukan. Kalau terlalu memikirkan apa kata orang, ya gak akan bisa berkembang :)
ReplyDeleteJadi, dalam sebulan ada berapa buku yang dibaca rata-rata?
ReplyDeleteGak nentu, kdg bisa sampe 5. Kadang enggak ada sama sekali
Deletesngat bisa, kita harus selalu berpikir positif saja
ReplyDeleteSip gan
DeleteBuanyak sekali bukunya gaes....
ReplyDeletesalam sehat sejahtera ditengah pendemi
Untuk menyalurkan apa yang ada dipikiran saya, saya lebih suka posting di blog karena di blog bakalan menemukan pembacanya sendiri. Dan instagram saya jadikan sebagai galeri atas perjalanan dan pengalaman saya. Saya merasa buntu ketika harus menulis caption di instagram, endingnya selalu pajang caption dengan emoticon atau sebuah tanggal aja.
ReplyDeleteBeda dengan blog, saya menemukan diri saya yg lain di dalam blog ini.