Manusia Hujan (Cerpen Rudi Fahrizal Putra)


Pixabay
Hanya lima belas menit sebelum kami keluar, hujan telah turun dengan derasnya, hingga kaca-kaca di ruang kelas kami mengembun dengan cepatnya. Diam-diam kuamati lagi Yuda, laki-laki paling pendiam di kelas kami. Ia sedang menatap hujan. Aku sudah hafal dengan kebiasaannya itu. Setiap kali hujan turun, ia terus-menerus memandangi hujan dari balik jendela (ia selalu memilih tempat duduk paling sudut). Kurasa ia adalah seorang penggila hujan. Karena hanya di saat hujan turun aku bisa melihat sedikit sunggingan senyum di bibirnya.
Dosen telah keluar. Dan kami semua hanya bisa menunggu di dalam kelas. Hujan yang sedari tadi turun sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda akan reda. Aku mendekat ke arah jendela, dan mulai mencoret-coret kaca yang berembun dengan telunjukku. Beberapa teman kelasku mengobrol dengan suara keras, sedangkan yang lainnya sibuk memainkan gawai mereka. Mataku menoleh Yuda lagi, dan kemudian otakku pun sibuk memikirkannya. Hampir memasuki semester dua aku di kelas ini, tapi aku masih belum begitu mengenal Yuda. Bahkan, aku tidak yakin kalau laki-laki di kelas kami pun tahu banyak tentangnya. Dan satu hal yang membuatku heran adalah, Yuda jarang sekali masuk kelas. Kurasa ia sama sekali tidak peduli pada pendidikannya. Dan anehnya, di saat ia hadir, hujan kerap kali turun.
***
“Kamu tidak pulang?” Sebuah suara tiba-tiba mengagetkanku. Dan disaat aku menoleh ke belakang, rasa kagetku semakin bertambah. Suara itu berasal dari Yuda. Bahkan aku tidak begitu mengenal suaranya. Yuda nyaris tidak pernah bersuara.
“Belum. Masih sedikit hujan. Aku takut akan kebasahan, soalnya rumahku jauh,” jawabku, tapi ia hanya terus memandangi rintik gerimis. Membuatku merasa kesal dengan tingkahnya itu. Lalu kami pun terdiam dalam waktu yang cukup lama.
“Sepertinya kamu begitu menyukai hujan ya..” Aku mencoba mencairkan suasana.
“Begitulah,” jawabnya yang diiringi oleh senyumnya yang tidak lebih dari dua detik. Kemudian hening.
“Aku terlahir di tengah hujan yang deras. Dari atas awan hingga terjatuh tanpa seorang pun memedulikan.” Sepotong kalimat yang aneh dan tidak nyambung keluar dari mulutnya, bersamaan dengan tatapan kosongnya yang menatap langit. Wajahnya begitu sendu. Bola matanya yang sedikit kebiruan itu seolah menyiratkan ribuan jejak kesedihan yang terekam di baliknya. Kesedihan yang mungkin hanya ia yang tahu.
***
Entah apa yang telah merasukiku. Setelah menatap wajah Yuda dari dekat tadi sore, kurasa aku telah jatuh hati. Rasa rindu, kagum, dan sedikit kasihan bercampur menjadi satu. Kesan sedih dan misterius di wajah Yuda membuat hatiku akhirnya mengakui bahwa aku benar-benar telah jatuh cinta padanya, setelah sekian lama aku berusaha menyangkal dan menganggap perhatianku padanya selama ini hanya sebatas rasa penasaran saja. Secara fisik, Yuda memang adalah tipe pria yang mampu membuat wanita mana pun jatuh cinta. Tapi sayangnya sikapnya yang dingin dan kebiasaannya menyendiri, membuat tidak ada satu pun wanita yang berani mendekatinya. Yuda memiliki bola mata yang sedikit kebiruan. Hidungnya mancung. Bibirnya tipis dan kemerahan. Rambutnya lebat dan agak pirang, membuat siapa pun yang melihatnya akan menyangka ia adalah seorang blasteran Eropa. Tapi yang kutahu, Yuda seorang Aceh asli. Karena pernah ada seorang dosen yang bertanya, dan ia mengatakan bahwa ia asli anak Aceh, tepatnya berasal dari sebuah desa di pedalaman Aceh Besar sana. Aku lupa nama daerahnya, maklum saja, aku berasal dari luar kota.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, setelah lelah mencari informasi tentang Yuda di internet. Aku mengetikkan namanya di kolom pencarian akun Instagram, hasilnya nihil. Aku berusaha mencarinya di berbagai media sosial, tapi sia-sia. Padahal ia seorang pengguna ponsel pintar, seharusnya ia memiliki paling tidak satu akun di salah satu media sosial. Saat ini aku merasa benar-benar seperti wanita bodoh yang sedang kasmaran. Selama seharian ini hanya Yuda yang kupikirkan. Padahal aku sendiri begitu yakin, tidak ada sedikitpun namaku di hatinya. Hati Yuda terlalu dingin untuk menyimpan nama seorang wanita. Beginilah jadinya bila mencintai pria yang berhati dingin.
Dari balik kaca jendela kamar, aku menatap keluar. Langit malam ini begitu gelap. Tidak ada satu pun bintang yang terlihat. Laron-laron terlihat berputar-putar mengelilingi lampu penerang di seberang jalan. Di bawah kakiku, Bobi, kucing Persia milikku terus-terusan mengeong, dan menggosok-gosokkan tubuhnya padaku. Malam ini,  aku lupa memberinya makan.
***
Tepat setelah pelayan cafe membawakan kopi pesananku, gerimis turun di luar sana. Dan lagi-lagi, suasana ini membuat pikiranku tidak bisa lepas dari Yuda. Memasuki pertengahan musim hujan ini, hampir setiap saat Yuda menghantui  pikiranku. Setiap malam aku berkhayal tentangnya. Di dalam kepalaku aku menciptakan kisah-kisah romantis di antara kami. Aku sedang dimabuk cinta. Bahkan aku menciptakan sebuah nama bagi Yuda. Manusia hujan. Ya, Yuda memang mirip hujan. Hujan begitu dingin. Sama seperti Yuda. Tapi kehadirannya kerap menciptakan nuansa yang membuat banyak orang selalu ingin mengenangnya. Yuda dan hujan seperti dua buah alat pemicu yang saling berhubungan bagiku. Di saat aku melihat rintikan hujan, aku selalu teringat Yuda, dan sebaliknya, saat aku bertemu Yuda, aku malah teringat kepada suasana yang pernah diciptakan hujan untukku.
Kurasa lamunanku akan lebih panjang, jika saja sebuah sonata tidak mengejutkanku. Kutujukan pandanganku ke arah di mana suara itu berasal. Seorang pria dengan sweater hoodie berwarna hitam sedang memainkan piano. Dari tempat dudukku aku hanya bisa melihat tubuhnya dari belakang. Lagu yang dimainkankannya begitu familiar di telingaku. Ini adalah Für Elise karya milik Beethoven. Pria itu memainkannya dengan sangat mengagumkan.
“Bang, kenal gak sama yang main piano itu?” Tanyaku pada seorang pelayan yang berdiri di dekatku.
“Oh dia...” Mata pelayan itu langsung tertuju pada pria yang kumaksud.
“Saya rasa dia hanya seorang musisi jalanan. Dia sering kesini untuk memainkan beberapa buah lagu, dan dibayar dengan secangkir kopi oleh manajerku.”
Seketika aku merasa terkejut. Menurutku permainannya terlalu luar biasa untuk dibayar hanya dengan secangkir kopi.
Di luar sana, hujan yang tadinya gerimis kini turun semakin deras. Dinding kaca di sebelahku semakin buram karena embun. Lampu-lampu dari kendaraan di luar sana terlihat buram dan berwarna-warni. Lagu yang dimainkan pemuda itu telah lama berhenti. Kurasa ia tak mungkin melanjutkannya di saat hujan deras seperti ini. Orang-orang tidak akan bisa menikmati musik yang berbunyi bersaman dengan suara gemuruh hujan. Sekilas kulirik pemuda itu. Kesan misterius muncul darinya karena ia tetap memakai hoodie-nya meski berada di dalam ruangan. Tiba-tiba pemuda itu berbalik, dan mataku terbelalak. Sekarang aku bisa melihat jelas wajahnya, dan itu adalah Yuda, si manusia hujanku!
Belum sempat aku berteriak memanggilnya, ia sudah keluar dari pintu dan berjalan menelusuri hujan tanpa memedulikan sekelilingnya. Dengan langkah cepat, aku mencoba mengikutinya, tapi dinginnya hujan membuat langkahku terhenti di teras cafe. Aku mematung. Udara dingin mulai memasuki tiap pori-poriku. Tubuhku menggigil. Kuraba keningku, kulitku terasa panas. Ternyata aku demam. Dan saat itu, kupikir aku tengah berilusi, karena dari kejauhan, aku melihat Yuda, si manusia hujan, menghilang secara perlahan. Seolah-olah menguap, lenyap ditelan hujan yang semakin menderas.

Rudi Fahrizal Putra adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Islam Ar-Raniry Banda Aceh.                                                                                                                                                                                                                                                                                             

0 comments:

Post a Comment