tirto.id |
Setelah membuat tulisan pertama di tahun 2020 kemarin, aku jadi ingin menulis lagi. Dan tema yang kupilih kali ini bukanlah tema yang biasa, yakni politik dan kekuasaan. Untuk mahasiswa semester akhir yang sedang gusar akan nasib perkuliahannya sepertiku, rasanya membahas hal yang berat begini malah menjadi beban tambahan. Tapi mau bagaimana lagi, sejak SMA aku sudah suka setiap pembahasan mengenai isu sosial dan politik. Memberikan pandangan pribadiku terhadap suatu isu ini, tentu saja terasa menyenangkan.
Tanpa berbasa-basi lagi, hari ini aku ingin membahas sebuah isu yang sedang hangat saat ini. Apalagi kalau bukan perseteruan antara Iran dan Amerika, juga ancaman perang dunia 3, yang banyak orang meramalkannya terjadi tahun ini. Well, aku tidak akan menganalisis situasi ini, seperti yang dilakukan para expert di televisi. Aku hanya memberikan pandangan pribadiku menengenai topik ini.
Sebenarnya, konflik antara Iran dan Amerika sudah berlangsung sangat lama dan cukup rumit. Semuanya berawal saat Amerika ikut campur dalam penggulingan perdana menteri Iran, Mohammed Mossadegh pada tahun 1953. Saat itu, Mohammed Mossadegh ini punya rencana akan menasionalisasikan pertambangan minyak Iran, yang tentu saja hal ini sangat diantisipasi oleh Amerika. Yah, memang begitulah watak negara Paman Sam ini. Mereka merasa berhak untuk ikut campur setiap urusan negara lain, dengan dalih demokrasi dan perdamaian. Padahal di belakangnya, ada motif politik yang membuat mereka mesti bertindak cepat. Maka, berhasillah Mohammed Mossadegh dijatuhkan. Sebenarnya, kudeta ini diinisiasi oleh syah Iran saat itu (setingkat raja), Mohammed Reza Pahlavi yang dekat dengan Amerika. Di bawah kepemimpinan tokoh terakhir dalam sejarah monarki Iran ini, hubungan Iran dan Amerika terjalin sangat erat. Bahkan, Iran menjadi salah satu negara paling sekuler di Timur Tengah. Akan tetapi, masa-masa yang menyenangkan bagi Amerika ini tidak berlangsung lama. Rakyat Iran mulai merasa jengah dengan kehidupan hedonis sang syah di tengah kemiskinan dan kesenjangan sosial yang semakin terasa. Puncaknya, pada tahun 1979, rakyat Iran memberontak dan berusaha menggulingkan pemerintah sah mereka melalui kudeta. Gerakan ini dipimpin oleh seorang tokoh spiritual bernama Ayatollah Ruhollah Khomeini, yang kemudian menjadi pemimpin spiritual Iran. Kudeta ini sukses. Mohammed Reza Pahlavi dan keluarganya pun melarikan diri ke Mesir. Iran pun seakan terlahir kembali, dengan sistem pemerintahan yang diganti. Yang awalnya memakai sistem sekuler ala Barat berubah menjadi sistem teokrasi ala Syiah, dengan Imam dianggap memiliki kedudukan paling penting. Dan tentu saja Iran yang sepenuhnya baru ini sangat anti terhadap Amerika. Selain negara itu dianggap telah merampas sumber kekayaan Iran, status Amerika sebagai negara adidaya, menurutku juga menjadi faktor kenapa Iran sangat membenci Amerika. Dalam konteks ini, Iran (dan juga Irak), dengan kerajaan Persianya, punya sejarah kejayaan di masa lalu di mana mereka pernah menjadi poros peradaban dunia saat itu. Dan sebagai negara penganut Syiah konservatif, sampai kapan pun Iran tidak akan rela tunduk di bawah kekuasaan Amerika yang mengkampanyekan gaya hidup yang seringkali dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dengan berbagai faktor ini, aku mulai berpikir bahwa Iran adalah negara penantang kekuasaan dunia saat ini. Tentu saja mereka tidak sendiri, ada Rusia, Cina, dan Suriah yang juga punya ambisi menjatuhkan Amerika dan negara-negara sekutunya yang dianggap sebagai pusat peradaban dunia.
Dari sederet negara yang kusebutkan tadi, barangkali hanya Iran dan Suriahlah yang paling getol membenci Amerika. Sebab negara ini punya motif pertentangan budaya. Rusia dan Cina mungkin punya alasan ekonomi untuk menantang Amerika, Tapi dalam hal kebudayaan, kedua negara ini tidak jauh berbeda dengan Amerika, di mana pemisahan antara agama dan pemerintahan dianggap merupakan solusi yang lebih baik. Tidak heran, sejak lama Iran sudah sangat sering memancing keributan dengan Amerika. Pada Mei 2019 misalnya, kapal tanker minyak milik Amerika diserang di teluk Persia. Pemerintah Amerika menyalahkan Iran atas insiden ini. Bukan hanya itu saja, sepanjang tahun 2019, setidaknya telah terjadi enam kali penyerangan terhadap Amerika maupun sekutunya yang terjadi di dekat wilayah Iran. Amerika sendiri tidak pernah berinisiatif membalas serangan itu. Menurutku, itu adalah karena mereka berusaha menghindari perang. Untuk sebuah negara yang sedang diembargo, dan berusaha menantang kekuasaan dunia semacam Iran, perang bukanlah hal yang buruk. Peperangan justru memungkinkan mereka punya peluang dalam membalikkan status quo, yakni menjatuhkan Amerika dari singgasana kekuasaannya. Sebaliknya, bagi Amerika yang tengah berada di puncak, perang bukanlah ide yang bagus. Secanggih atau sekuat apa pun militer dan pertahanan Amerika, tetap saja selalu ada kemungkinan untuk berubahnya status quo. Terlebih Iran juga disokong Rusia dan Cina, di mana militernya tak kalah kuat dari Amerika. Selain itu, Amerika juga punya pengalaman pahit dengan Vietnam, di mana sebenarnya di atas kertas mereka unggul jauh di atas Vietnam. Tapi fakta malah membuktikan lain. Amerika kalah dari strategi jitu Vietnam. Ribuan tentara mereka tewas di medan perang. Dan itu merupakan salah satu momen paling memalukan yang pernah dialami negara sebesar Amerika. Maka, aku berpikir tidak mengherankan jika Amerika menghindari perang, karena itu sama sekali tidak membawa keuntungan bagi mereka. Tapi semuanya berubah ketika Trump bikin ulah. Presiden kontroversial ini berusaha menunjukkan kehebatannya dengan membunuh Jendral yang paling disegani dan dianggap penting di Iran, Qassem Soleimani. Analisis para ahli mengungkapkan bahwa pembunuhan jendral yang dianggap teroris di Amerika ini dilakukan Trump demi menarik simpati masyarakat Amerika. Trump menganggap langkah ini penting guna menaikkan elektabilitasnya di pemilihan presiden mendatang. Namun di luar dugaan, masyarakat Amerika sendiri banyak yang menentang tindakan gegabah Trump ini. Dan akhirnya, Trump yang awalnya semangat menyambut ancaman perang dari Iran, justru menjilat ludahnya sendiri dengan memberi pernyataan bahwa Amerika tidak akan membalas serangan-serangan yang dilakukan Iran.
Memikirkan konflik serta adu kekuatan di antara dua negara yang berambisi terhadap kekuasaan ini, membuatku pusing. Kalau ditanya aku mendukung yang mana, jawabannya adalah aku tidak mendukung siapa pun. Selama ini, aku punya sikap pesimistis terhadap mereka yang punya ambisi dalam merebut pengaruh. Mungkin, di tengah kondisi dunia yang seperti ini, banyak yang beranggapan bahwa Iran adalah pahlawan karena berusaha menggulingkan tirani yang tengah menjerat dunia. Tapi, siapa yang dapat menjamin kalau kehidupan akan lebih baik, jika poros keadidayaan itu diganti. Apakah jika Iran menjadi negara adidaya, maka dunia akan lebih baik? Dari sejarah, kita belajar bahwa setiap bangsa yang punya kecenderungan terhadap kekuasaan, selalu punya riwayat kelam mereka masing-masing. Tak peduli, latar belakang budaya ataupun ideologi apa yang mereka anut, penyalahgunaan kekuasaan memang seperti sebuah hal yang tak dapat dihindari. Memang sudah menjadi watak manusia, untuk menggunakan pengaruh yang mereka punya untuk mengeruk sebanyak mungkin keuntungan, tapi di sisi lain mereka juga tidak segan menindas manusia lain yang lebih lemah. Untuk melihat hal ini, kita harus menggunakan perspektif yang lebih jauh, yakni sebuah pandangan yang melihat manusia sebagai makhluk yang mengejar eksistensi. Ketika hewan menggunakan kekuatan otot mereka untuk bertahan hidup, menjatuhkan lawan dan sekaligus merebut pengakuan, maka manusia menggunakan akalnya demi semua itu. Karena itu permasalahan yang kita alami pun menjadi sedemikian kompleksnya. Semenjak manusia mulai mampu bertanya-tanya tentang makna dibalik eksistensi mereka, tentang tujuan hidup, dan sebagainya, kupikir sejak itulah manusia justru menjadi sebuah ancaman bagi kehidupan itu sendiri.
Pada awalnya, aku beranggapan bahwa sebuah ideologi bisa menentukan sebuah kehidupan yang ideal. Tapi ternyata aku keliru. Justru selama ini sejarah membuktikan bahwa pertentangan ideologi lah yang telah menumpahkan banyak darah. Dan semenjak aku tahu, Uni Soviet, Amerika Serikat, Prusia (Jerman), Jepang, dan Turki Usmani punya riwayat pelanggaran mereka masing-masing terhadap kemanusiaan, aku tidak lagi menaruh kepercayaan terhadap kekuasaan. Bagiku, tidak peduli sistem ideologi apa yang dipakai di sebuah negara, jika memang pihak penguasanya cenderung bersifat evil, maka sebuah dunia yang ideal, tak akan pernah jadi kenyataan. Justru, saat ini aku lebih bersimpati terhadap negara-negara yang jauh dari hingar-bingar kekuasaan, seperti negara-negara Skandinavia, Selandia Baru, Estonia, Latvia, atau negara-negara kecil lain di Eropa yang namanya jarang terdengar.
Tulisannya bagus dek. Jarang-jarang ada anak muda yang suka sama politik dan bahasa kaya gini. Materi berat soalnya. Btw, salam kenal yah...
ReplyDeleteSalam kenal kembali, terimakasih kunjungannya 🙏
ReplyDelete