malam larut ketika
angin berembus kencang
kota telah mati
sunyi hinggap di
gedung-gedung tua

seekor kunang-kunang tersesat
di bawah lampu taman
sinarnya redup
seperti tak tersentuh waktu

di kota mati itu
seorang perempuan sedang tertidur lelap
memimpikan bintang jatuh, atau daun-daun
yang menghijau di penghujung musim semi
yang hangat

ketika hujan meyentuh
genting rumahnya
ia terbangun lalu teringat mimpi
masa kecilnya yang belum usai jadi kenangan

tak ada yang mampu membuatnya takjub
selain membayangkan waktu silam
kala berkunjung ke taman bunga
atau mendengar dongeng
yang dibacakan ibu
sebelum memberinya kecupan hangat

diam-diam dingin pun menusuk
ke dalam kulit
ia memeluk tubuhnya sendiri
setetes kenangan jatuh menyentuh
pelupuk mata

di atas genting suara-suara
masih saja berlompatan
ia pun termangu memandangi
kaca jendela yang begitu tabah menahan gigil

 

Pixabay

Perpisahan kepada Sunyi


Melewati pukul sebelas malam aku menaiki puncak
untuk memandangi langit dan
memahami bagaimana mereka bekerja


Dunia begitu kesepian
Banyak orang ingin mati setiap hari

Di atas sini, aku hanya ingin merenung
atau memikirkan apa pun yang dapat membuatku
terbunuh pelan


Andai kehampaan ini dapat pergi
barangkali tak pernah lagi ada penderitaan


Setiap orang terlahir untuk bersenang-senang
ketika kedukaan datang bertamu, mereka hanya dapat
membunuh pikiran masing-masing


Sementara kau hanya menangis di dalam diam
atau luka ataupun kenangan buruk yang pernah kauciptakan


Aku tak pernah tahu di mana kauletakkan luka itu
Namun bila kuucapkan selamat tidur malam ini
Barangkali penat itu akan memudar dan keinginan-keinginanmu
akan terwujud di dalam mimpi


Tak ada yang dapat memahami kita
Dunia bekerja dengan caranya sendiri
Kau pun hanya ingin melupakan luka tanpa pernah tahu
cara terburuk untuk berbahagia adalah dengan memikirkan diri sendiri


Kau begitu jauh dari pikiranku
Bahkan bayanganku pun tak pernah dapat menjangkaumu

Suatu malam hujan turun begitu lebat
lalu aku membayangkanmu kedinginan dan menggigil tanpa selimut


Saat itu kaca jendela mengembun begitu cepat
namun kau hanya dapat memeluk tubuhmu sendiri
sembari membayangkan seseorang datang dan mencium hangat pipi merahmu


Tapi malam ini begitu hening
suara-suara bersembunyi di balik kenangan setiap orang


Hingga kemudian kutuntaskan segala kesedihanku
Menuruni anak tangga untuk memasuki ruang dan bertemu sunyi


Di Sudut Cafe Ini


aku duduk di sudut cafe
dan hanya mengenangmu

setiap hal yang kurindukan selalu ingin pergi atau menghilang
aku tidak tahu cara paling baik menghilangkan duka
rintangan yang kutemui di depan adalah
hal yang ingin kumusnahkan jika kubisa

setiap yang membuka mata larut dalam pikiran
di sini hanya ada keheningan
aku bertanya tentang siapa yang hadir

di cafe ini, kegelapan lebih baik dari apa pun yang namanya kepalsuan
di sini kesendirian seperti memihakku
suara tawa tidak sedang mencelaku
aku lega dan merasa aman dari
tatapan bodoh paling kubenci

aku ingin ditemani olehmu
tapi kau merasa letih pada waktu
biarkan saja perasaanmu 
aku tidak ingin kau sedih
saat perih menatapku seperti curiga
lebih baik aku mengenang suaramu
dan menganggap tubuhku tidak rapuh

seseorang menungguku seorang diri
dia adalah teman yang tidak butuh nama
dia seperti dirimu
dia hanya ingin menemani dirinya sendiri

semua yang  menghibur penatnya
telah tertidur dan merasa mimpi tidak
membangunkan mereka lagi

sedang kau bermimpi tentang
kebahagiaanmu yang menghalangiku
berjalan menujumu

siapa ia yang tidak punya mimpi di malam hari?
matanya terjaga dan membenci matahari

aku tidak mengerti mengapa orang
orang suka merasa bahagia
bagiku kesedihan dan kebahagiaan adalah
seperti saudara kembar
aku tidak ingin senang karena takut mati
aku hanya ingin mati saat bersedih

seperti perasaan yang hendak dilupakan orang-orang
ada atau tidak adanya kehidupan hanya soal
warna dan khayalan

malam sudah terlalu larut dan ingin berakhir
mendengar lagu bukan lagi sebuah pilihan
tetapi kesedihan suara hatimu
membuatku mengalah pada inti perih
dari yang bangkit di ingatanku
setidaknya kau masih di sana
sebelum aku benar-benar pergi
kau menunggu kebahagiaan datang
melindungimu dari kebodohan hatiku.


Di Tengah Keramaian yang Kubenci


Hari ini terang dan bising, dan aku
membencinya setengah mati


Dunia begitu sesak oleh mereka
yang bicara, tertawa, sibuk, dan bosan
Setiap pikiran mereka adalah semesta yang ramai
Sementara pikiranku adalah perjalanan waktu
yang kelelahan


Di dalam pikiranku, aku akan terus hidup
menemani waktu
Jika kupejamkan mataku
yang ada hanyalah kegelapan
Seperti seekor bintang yang tua
dan kesepian


Aku akan selalu merasa sendiri meski
banyak suara yang bergema


Pernah suatu kali kau datang ke dalam mimpi
Lalu kusentuh kulitmu dalam satu kecupan
yang begitu hangat
Namun saat kubuka mataku, ternyata
sinar matahari telah menghilangkan segalanya


Setiap kali memimpikanmu
Kupikir itulah sedikit kebahagiaan
yang kupunya


Aku dan pikiranku hanyalah ruang
kosong yang begitu sunyi
Dingin dan gelap


Kupejam lagi mataku, berharap esok
tubuhku tiada
Orang-orang akan melupakanku cepat
Seperti mereka yang memudar


Yang tersisa hanya mimpi tentangmu
Tersimpan jauh di sudut ruang sunyiku
Begitu jauh, seperti kenangan masa kecil

dailysocial
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Bagi kamu yang belum membacanya, boleh melihatnya di sini



Tentang Sampah


kajianpustaka.com

Saya sempat berpikir, orang-orang di negeri ini malas memikirkan sampah, sebab ada hal yang lebih krusial untuk mereka pikirkan setiap hari: asupan karbohidrat.

Ya, untuk masyarakat yang setiap hari harus bekerja keras untuk dapat mengisi perut mereka dan anak-anak mereka, saya pikir tak ada lagi cukup tempat di pikiran mereka untuk sekedar peduli pada lingkungan.

Di tengah permasalahan ekonomi yang menjerat sebagian besar masyarakat kita, mungkinkah kesadaran tentang pentingnya mengelola sampah bisa muncul?

Awalnya saya berpikir begitu, tapi rupanya saya salah. Sebab, di jalanan saya sering menjumpai para pengemudi mobil pribadi, yang seenaknya membuang sampah lewat jendela mobil mereka. Benar, mereka yang bestatus ekonomi menengah ke atas pun tidak punya kesadaran pada lingkungan!

Sebenarnya, problem sosial dan kesadaran adalah dua hal yang berlainan. Setiap orang bisa saja memiliki segudang masalah, tapi sekali mereka punya kesadaran, kebiasaan baik mereka tak akan pernah hilang.

Masalah utama dari orang-orang di negeri ini sebenarnya cuma satu, yakni kurangnya kesadaran. Kebiasaan menganggap persoalan sampah adalah hal yang remeh-temeh, membuat kesadaran masyarakat kita terhadap lingkungan sangat minim. Ditambah kurangnya sosialisasi dari pemerintah, jelas saja masyarakat kita menganggap enteng sampah yang bertebaran di mana-mana.

Bagi saya, jumlah sampah yang bertebaran di sebuah kota, menjadi seperti sebuah indikator bagi tingkat keegoisan masyarakat di kota itu. Sebab, hanya orang yang bermental sangat egois, yang masih suka buang sampah sembarangan. Hanya orang yang sangat egois yang menganggap pengelolaan sampah yang baik itu sama sekali tidak berpengaruh bagi hidup mereka.

Karena itu, melihat masih kurangnya kesadaran masyarakat kita terhadap bahaya sampah, saya rasa tidak berlebihan jika saya menganggap orang-orang di negeri ini masih banyak yang bermental egois tingkat tinggi!


Tentang Hari Buruh

*tulisan ini saya tulis bertepatan dengan hari buruh 1 Mei 2019.


BMV Katedral Bogor

Hari ini tanggal 1 Mei. Hari buruh sedunia. Di berbagai wilayah di dunia beberapa orang yang peduli turun ke jalan-jalan. Menggelar parade dan long march. Menuntut para penguasa lebih serius memerhatikan hak kaum buruh, yang selama ini seringkali diabaikan.

Tapi gemuruh suara tuntutan itu hanya datang setahun sekali. Selebihnya hanya gema yang tak terdengar. Tenggelam dalam riuh rutinitas.

Kini, di era industri 4.0, nasib para buruh semakin tidak menentu. Dengan semakin gencarnya teknologi artificial intelligence, penggunaan tenaga manusia pun semakin sedikit digunakan. Sudah pasti para kapitalis lebih tertarik menggunakan tenaga mesin, yang tak pernah lelah, tak butuh tunjangan ini itu, dan bisa bekerja jauh lebih cepat ketimbang manusia. Penggunaan teknologi memang jelas memangkas biaya produksi, tapi nasib para buruh juga ikut terpangkas. Sebaliknya, pundi-pundi uang semakin berlimpah ruah jatuh kepada mereka para pemilik modal.

Di tengah banyaknya ketidakpuasan para buruh di bawah tekanan kapitalis, kini nasib mereka pun tidak hanyak sekedar tertindas, namun terancam akan kehilangan mata pencaharian. Padahal, para buruh seharusnya diberi penghargaan tertinggi. Mereka layak diapresiasi. Mereka layak hidup sejahtera. Sebab, segala peradaban ini datang dari kerja keras dan keringat mereka.


Happy May Day! Selamat Berjuang!